08 Januari 2013

Syubhat : Ikhtilaf dalam masalah furu' diperbolehkan

Sebagian orang mengatakan bahwa ikhtilaf yang dilarang adalah dalam masalah ushul (prinsip). Sedangkan ikhtilaf dalam masalah furu (cabang) diperbolehkan. Apakah ini benar ?

Jawabannya : Salah. Boleh tidaknya suatu iktilaf bukan berdasarkan masalah yang diperselihkan, tapi bagaimana pendapat itu dibuat. Masalah apapun (ushul atau furu), jika ushul (kaidah) penetapannya benar, maka furu (hasil) berbeda itu diperbolehkan. Demikian pula sebaliknya.

Inilah maksud hadits Rasulullah :
Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala. [HR. Bukhari dan Muslim]

Dalam hadits diatas menyebutkan perkara secara umum bukan furu saja. Karena faktanya ijtihad itu dalam masalah furu dan ushul. Namun disebutkan benar salah ijtihadnya tetap bernilai pahala. Sehingga jelas disini, boleh tidaknya ikhtilaf bukan pada jenis masalahnya.

CONTOH 1 : Banyak terjadi ikhtilaf dalam masalah ushul namun tidak apa-apa. Misalnya hukum meninggalkan shalat, ini adalah masalah akidah tentang kafir tidaknya seseorang. Namun karena masing-masing pendapat ditegakkan dengan dalil dan kaidah yang benar maka hal itu tidak pernah dipermasalahkan di kalangan ulama. Demikian pula dengan masalah akidah lainnya yang cukup banyak.

CONTOH 2 : Terjadi ikhtilaf dalam masalah furu namun dipermasalahkan oleh para ulama. Misalnya tentang doa sebelum makan yang hanya cukup mengucap "Bismillah". Ketika ada seorang ulama yang berpendapat bahwa jika disempurnakan menjadi "Bismillahir rahmanir rahim" maka itu lebih baik, maka para ulama tidak mengatakan ini ikhtilaf. Namun mereka mengatakan ini adalah kekhilafan (ketidaksengajaan) ulama tersebut. Karena Rasulullah hanya mengajarkan dengan "Bismillah", sedangkan petunjuk Rasul-lah yang terbaik (benar).

Lantas bagaimana jika ikhtilaf yang terjadi akibat pendapat yang dibuat dengan hawa nafsu ? Dibuat untuk mencari pembenaran, dengan meninggalkan dalil-dalil yang bertentangan dengannya, serta mencari (atau dicari-cari) dalil-dalil yang mendukungnya, bahkan sampai mentakwil dan meng-qiyas dalil-dalil semaunya. Apakah ikhtilaf ini kita katakan boleh ? Kesalahan inilah yang disebut ikhtilaf yang tidak diperbolehkan. Serta tidak bernilai pahala namun justru sebagai dosa. Allah berfirman :
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu” [QS. Al-Ahzaab : 5]

Bahkan ijtihad ulama terdahulu yang salah yang bernilai pahala (akibat berbagai keterbatasan) bukan berarti boleh tetap diikuti oleh seseorang yang telah sampai padanya dalil-dalil yang lebih kuat.

Kesimpulan

  • Boleh tidaknya suatu ikhtilaf bukan ditentukan dari jenis masalahnya (masalah ushul atau furu) tapi dari ushul (kaidah) pengambilan pendapatnya.
  • Ikhtilaf diperboleh jika ushul (kaidah) penetapannya benar walau furu (hasil) berbeda.
  • Ikhtilaf tidak diperbolehkan jika ushul (kaidah) penetapannya salah.
  • Ushul dan furu perkara/masalah agama BERBEDA dengan ushul dan furu dalam menetapkan pendapat (ijtihad).

Permasalahan

Jika ikhtilaf diperbolehkan dalam masalah furu, maka akan muncul ikhtilaf baru : Apakah masalah tersebut termasuk masalah furu atau ushul ?
Wallahu a'lam.

Iyas Al-Jakarti
Bogor, 08 Januari 2013