25 Juli 2014

Kedudukan Tauhid dalam Islam

Tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar. Semua cabang keimanan berasal dari tauhid dan kembali menuju kepadanya. Tauhid diibaratkan batang utama sebuah pohon dimana cabang-cabang lain berasal darinya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah:
“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Cabang paling utamanya adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.”
Setiap bagian tauhid memiliki kedudukan masing-masing. Dimana tauhid asma wa sifat sebagai latar belakang penciptaan manusia, tauhid rububiyah sebagai modal bagi manusia, tauhid uluhiyah sebagai tugas bagi manusia dan tauhid mulkiyah sebagai balasan bagi manusia.

1. Tauhid asma wa sifat sebagai latar belakang segala sesuatu termasuk tujuan penciptaan manusia

Tujuan penciptaan segala sesuatu termasuk manusia untuk menunjukkan kebesaran Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah:
“Tatkala Allah mencipta para makhluk, Dia menulis dalam kitab-Nya, Dia mewajibkan atas diri-Nya sendiri, yang kitab itu terletak di sisi-Nya di atas arsy, “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.”
Demikian pula tujuan penciptaan manusia bagi Allah yaitu untuk dirahmati terutama rahmat petunjuk. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Hud ayat 118-119:
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”
Tauhid asma wa sifat menjadi latar belakang pula bagi ketiga tauhid lainnya. Dimana tauhid rububiyah berkenaan dengan nikmat Allah di dunia sebagai bekal bagi manusia. Adapun tauhid uluhiyah berkenaan dengan kewajiban agama yang merupakan kebaikan bagi manusia sendiri. Sedangkan tauhid mulkiyah berkenaan dengan nikmat Allah yang besar di akhirat nanti, sebagai balasan yang jauh lebih baik dari amalan manusia.

2. Tauhid rububiyah adalah sebagai modal manusia

Allah memberikan bekal kepada manusia untuk bertakwa berupa fitrah bertauhid, rezeki, petunjuk dan pertolongan. Tentang fitrah bertauhid yang Dia tanamkan ke dalam jiwa mausia disebutkan dalam Al-Quran surat Al-A’raf ayat 172:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."
Tentang rezeki yang Dia berikan di dunia ini disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 21-22:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
Tentang petunjuk yang Dia turunkan melalui rasul-Nya disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 36:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”
Adapun tentang pertolongan-Nya disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Fatihah ayat 5-6:
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

3. Tauhid uluhiyah adalah sebagai tugas bagi manusia

Segala sesuatu yang Allah perintahkan semata-mata bentuk rahmat Allah untuk kebaikan manusia sendiri. Sedangkan Allah tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Allah menciptakan manusia untuk dirahmati, sedangkan rahmat-Nya diperoleh dengan mengikuti petunjuk-Nya. Sehingga manusia diciptakan hanya untuk menyembah Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Adz-Dzariyat ayat 56-57:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.”

4. Tauhid mulkiyah sebagai balasan bagi manusia

Allah menjanjikan surga yang penuh kenikmatan kepada orang-orang yang bertauhid. Adapun orang yang enggan beribadah, ragu, atau berbuat syirik kepada Allah maka bagi mereka adzab neraka yang dahsyat. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 9-10:
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (surga). Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka.”
Demikian pula yang disebutkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir:
“Barangsiapa yang mati tanpa menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka ia wajib masuk surga. Dan barangsiapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka ia wajib masuk neraka.”
Wallahu A'lam.

Iyas Al-Jakarti
Bogor, 27 Ramadhan 1435 / 25 Juli 2014

Pengertian dan Pembagian Tauhid

Definisi (arti) tauhid

Tauhid berasal dari bahasa arab yang artinya ‘membuat sesuatu menjadi satu’ atau ‘meng-esa-kan sesuatu’. Secara istilah, tauhid adalah mengesakan Allah dalam segala kekhususan-Nya. Adapun kekhususan Allah meliputi asma wa sifat, rububiyah, uluhiyah dan mulkiyah-Nya.

Pembagian tauhid

Pembagian tauhid merupakan hasil telaah para ulama terhadap Al-Quran dan hadits tentang dasar-dasar keimanan. Pembagian tauhid dilakukan untuk memudahkan dalam mempelajari dan memahami dasar-dasar keimanan. Tauhid terbagi menjadi 4 yaitu, asma wa sifat, rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah.

1. Asma wa sifat

Tauhid asma wa sifat adalah mengesakan Allah dalam kesempurnaan dzat, nama, sifat dan kemampuan-Nya. Caranya adalah menetapkan keempat hal tersebut apa adanya sebagaimana yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Sebab Allah adalah dzat yang ghaib, maka wajib bagi seseorang menetapkan Allah sebagaimana Dia sendiri mengabarkan tentang diri-Nya melalui Rasul-Nya.

Tanda seseorang beriman kepada tauhid asma wa sifat adalah mensucikan Allah dari segala nama dan sifat yang tidak layak bagi-Nya. Selain itu tidak menetapkan sifat-sifat Allah dengan sesuatu yang tidak ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Tauhid asma wa sifat di antaranya mencakup :
 
  • Dzat
Mengesakan Allah dalam kesempurnaan dzat-Nya yaitu menetapkan Allah sebagai tuhan yang satu yang tidak beranak dan diperanakkan serta tidak ada yang menyerupai dan setara dengan dzat-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Ikhlas ayat 1-4:
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia."
Serta dalam surat Asy-Syura ayat 11:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Termasuk mensucikan Allah dalam dzat-Nya yaitu menetapkan sifat bersemayam di langit dan sifat Maha mendengar, Maha melihat, memiliki wajah, dua tangan, kaki serta berbicara dengan makhluk-Nya dan tertawa. Sebab demikianlah Allah mengabarkan tentang dzat diri-Nya sendiri dalam Al-Quran maupun hadits. 
  • Nama dan sifat
Mengesakan Allah dalam kesempurnaan nama dan sifat-Nya yaitu menetapkan nama-nama yang baik yang telah Allah namakan diri-Nya sendiri dengan nama-nama tersebut serta menetapkan sifat dan ketinggian sempurna pada semua sifat yang telah Dia sifatkan diri-Nya sendiri dengan sifat-sifat tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Hasyr ayat 24:
“Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Serta Dia berfirman tentang ketinggian sifat-Nya dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 27:
“Dan bagi-Nya lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi, dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Termasuk mensucikan sifat-sifat Allah yaitu menetapkan kebaikan sempurna pada sifat Allah berupa marah, membuat makar kepada orang kafir serta mengadzab dan memberikan bencana kepada manusia. Sebab semua sifat tersebut adalah dalam rangka kebaikan semata.
 
  • Kemampuan
Adapun mengesakan Allah dalam kesempurnaan kemampuan-Nya yaitu menetapkan Allah sebagai dzat yang Maha mengetahui dan Maha kuasa atas segala sesuatu. Sebagimana disebutkan dalam Al-Quran surat Ath-Thalaq ayat 12:
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”
Allah mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi, sedang terjadi dan telah terjadi. Dia mengetahui pula sesuatu yang tidak akan terjadi dan bagaimana bila itu terjadi. Dia mengetahui segala yang paling besar hingga yang paling kecil, yang tampak maupun yang tersembunyi, yang nyata maupun yang ghaib, termasuk apa yang ada di dalam dada manusia. Disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nur ayat 64:
“Ketahuilah sesungguhnya kepunyaan Allah lah apa yang di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia mengetahui keadaan yang kamu berada di dalamnya (sekarang). Dan (mengetahui pula) hari (manusia) dikembalikan kepada-Nya, lalu diterangkan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Allah pula berkuasa berbuat segala sesuatu yang Dia kehendaki, baik yang Dia ridhai maupun tidak diridhai-Nya. Dia menciptakan semua yang dikehendaki-Nya. Tidak ada yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya. Serta tidak ada yang berkuasa berbuat sesuatu kecuali dengan izin-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 17:
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya, Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Termasuk mensucikan Allah dalam kemampuan-Nya yaitu menetapkan bahwa Allah mengizinkan setan (dari golongan jin dan manusia) untuk menyesatkan manusia dan menyakiti orang-orang beriman serta mengizinkan segala kejahatan yang terjadi. Semua itu semata-mata sebagai ujian bagi manusia. Bahwa tidaklah semua itu terjadi kecuali tetap dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana Dia menjamin bahwa semua itu tidak dapat mendatangkan mudharat apapun kecuali dengan izin-Nya.

2. Rububiyah

Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya di dunia. Caranya adalah menetapkan keesaan Allah dalam penciptaan, penguasaan dan pengaturan alam semesta. Termasuk pula di dalamnya menghidupkan dan mematikan manusia serta memberi rezeki, petunjuk, manfaat dan mudharat kepada manusia.

Tanda seseorang beriman kepada tauhid rububiyah adalah tawakal hanya kepada Allah. Sebab hanya Allah yang berkuasa atas segala sesuatu. Allah pula yang dapat memberi manfaat dan mudharat kepada manusia serta menghilangkannya. Selain itu hanya petunjuk Allah yang dapat memberikan manfaat dan kebaikan. Sehingga tawakal bukan semata-mata pasrah kepada Allah, namun pula mengikuti jalan-jalan kebaikan yang telah Allah tetapkan.

Tauhid rububiyah diantaranya mencakup :
 
  • Mencipta, mengatur dan menguasai alam semesta
Tentang keesaan-Nya dalam perencanaan, penciptaan dan penguasaan alam semesta, disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Furqan ayat 2:
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”
Demikian pula tentang keesaan-Nya dalam penciptaan, penguasaan dan pengaturan alam semesta, disebutkan dalam surat Al-A’raf ayat 54:
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.”
Adapun tentang keesaannya dalam penciptaan manusia serta memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan, disebutkan dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 40:
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.”
  • Menurunkan wahyu, mengutus rasul, memberi petunjuk dan menyesatkan
Termasuk keesaan Allah dalam pengaturan alam semesta yaitu pengaturan manusia. Dimana Allah menurunkan wahyu, mengutus rasul dan memberi petunjuk dan menyesatkan manusia. Tentang keesaannya dalam menurunkan wahyu, disebutkan dalam Al-Quran surat Az-Zumar ayat 23:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.”
Adapun tentang keesaan-Nya mengutus rasul, disebutkan dalam Al-Quran surat Ibrahim ayat 4:
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
  • Menolong, mengalahkan dan mengadzab manusia di bumi
Termasuk keesaan Allah dalam pengaturan alam semesta yaitu menolong dan mengadzab manusia. Tentang keesaan-Nya menolong manusia, disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 107:
“Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.”
Adapun tentang keesaan Allah dalam mengadzab manusia, disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Ankabut ayat 22:
“Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri (dari adzab Allah) di bumi dan tidak (pula) di langit dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah.”

3. Mulkiyah

Tauhid mulkiyah adalah mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya di akhirat. Caranya adalah menetapkan keesaan Allah dalam kekuasaan-Nya di akhirat kelak, terutama kekuasaan-Nya dalam menegakkan hari akhir, menyelesaikan segala urusan, menegakkan keadilan dan membalas semua perbuatan.

Sebagian orang keliru dalam memahami tauhid mulkiyah ini. Mereka mengira tauhid mulkiyah adalah tentang keesaan Allah dalam kerajaan dan kekuasaan di dunia. Padahal ini adalah bagian dari tauhid rububiyah. Atau mengira bahwa tauhid mulkiyah tentang kewajiban berhukum hanya dengan hukum Allah. Padahal ini bagian dari tauhid uluhiyah.

Tanda seseorang beriman kepada tauhid mulkiyah adalah ikhlas mengharapkan ampunan dan balasan hanya kepada Allah. Sebab tidak ada yang dapat memberikan kebaikan dan keselamatan di akhirat kecuali Allah. Serta tidak ada satupun makhluk yang mampu memberi pertolongan tanpa izin dari-Nya.

Adapun tauhid mulkiyah diantaranya mencakup :
 
  • Menegakkan dan menguasai hari pembalasan
Tidak ada keraguan bahwa Allah akan menegakkan hari kiamat, memusnahkan dunia dan membangkitkan kembali manusia. Pada hari itu, kekuasaan sepenuhnya di tangan Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Furqan ayat 26:
“Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu), satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir.”
Serta disebutkan pula dalam Al-Quran surat Ghafir ayat 16-17:
“(Yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur), tiada suatu pun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman): "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.”
  • Menyelesaikan semua urusan
Tentang keesaan Allah dalam hal kembalinya segala urusan untuk diputuskan, disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 210:
“Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.”
Serta yang utama adalah memutuskan perselisihan dalam perkara agama, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Jatsiyah ayat 17:
“Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama), maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya.”
  • Menegakkan keadilan, membuat perhitungan dan membalas semua perbuatan
Tentang keesaan Allah dalam memberi hukuman dan perhitungan, disebutkan dalam Al-Quran surat Al-An’am ayat 62:
“Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum hanya kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.”
Tentang keesaan-Nya dalam memberi balasan, pahala dan pertolongan, disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Kahfi ayat 44:
“Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.”

4. Uluhiyah

Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam segala hak-Nya untuk disembah/diibadahi. Adapun hak Allah untuk diibadahi adalah konsekuensi dari ketiga tauhid lainnya. Sehingga ibadah adalah segala bentuk pengagungan kepada Allah dengan cara tawakal dan mengikuti petunjuk-Nya untuk mengharapkan balasan dan keridhaan-Nya.

Intinya adalah memberikan ketaatan mutlak hanya kepada Allah. Sebab Allah telah memerintahkan untuk mengagungkan-Nya, tawakal kepada-Nya, mengikuti petunjuk-Nya dan ikhlas kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 62:
“Dan kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi, dan untuk-Nya-lah ketaatan itu selama-lamanya. Maka mengapa kamu bertakwa kepada selain Allah?”
Demikian pula disebutkan dalam Al-Quran surat Az-Zumar ayat 3:
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”
Maka inilah tujuan Allah menciptakan manusia, yaitu menyembah hanya kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Adz-Dzariyat ayat 56:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Demikian pula disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Bayyinah ayat 5:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Tanda seseorang beriman kepada tauhid uluhiyah adalah tunduk dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Pertama tunduk dalam menerima petunjuk-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-An’am ayat 71:
“Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk, dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam.”
Kemudian tunduk dalam menjalankan petunjuk-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-An’am ayat 162:
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)."
Selain itu tidak ada ketaatan mutlak kepada selain Allah. Adapun taat kepada manusia hanya dalam hal-hal yang Allah ridhai. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi Thalib:
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk (yang Allah ciptakan) dalam maksiyat kepada Sang Pencipta (Allah). Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan saja.”
Sebagai bukti pembagian tauhid ada 4 (empat) silahkan baca : Adakah Tauhid Mulkiyah? Bukti Pembagian Tauhid Ada Empat.

Baca pula : Kedudukan Tauhid dalam Islam

Wallahu A'lam.

Iyas Tanjung
Bogor, 27 Ramadhan 1435 / 25 Juli 2014

20 Juli 2014

Adakah Tauhid Mulkiyah? Bukti Pembagian Tauhid Ada Empat

Fenomena khilafiyah

Banyak orang mempertanyakan apakah tauhid mulkiyah itu ada. Tauhid mulkiyah itu sebenarnya ada, namun oleh sebagian orang disalah-artikan maksudnya. Sehingga sebagian lainnya menolak adanya tauhid mulkiyah.

Hal ini terjadi karena mereka memunculkan tauhid mulkiyah dengan dalil yang benar namun diartikan dengan cara yang salah. Adapun dalil adanya tauhid mulkiyah terdapat pada surat pertama dan terakhir dalam Al-Quran. Allah berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ . مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ . إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS. Al-Fatihah : 2-5)
Serta firman Allah :
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ . مَلِكِ النَّاسِ . إِلَهِ النَّاسِ
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. (An-Nas : 1-3)
Kedua ayat di atas dengan jelas menyebutkan rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah Allah. Sedangkan pada surat pertama disebut pula asma dan sifat-Nya.
Sayangnya sebagian orang mengartikan tauhid mulkiyah ini dengan arti bahwa Allah satu-satunya pemilik kekuasaan dan pembuat hukum di dunia. Padahal hal ini bagian dari tauhid rububiyah. Mereka mengartikan pula bahwa Allah satu-satunya yang boleh ditaati dan tidak boleh berhukum kecuali dengan hukum Allah. Padahal hal ini bagian dari tauhid uluhiyah. Oleh karena itu, para ulama ahlussunnah menolak penetapan tauhid mulkiyah versi mereka ini.

Makna tauhid mulkiyah yang benar

Tauhid mulkiyah adalah meng-esa-kan Allah dalam segala perbuatan-Nya di akhirat kelak. Atau dengan kata lain tauhid mulkiyah adalah menetapkan keesaan Allah dalam kekuasaan-Nya di akhirat, terutama kekuasaan-Nya dalam menegakkan hari akhir, menyelesaikan segala urusan, menegakkan keadilan dan membalas semua perbuatan.

Selama ini kita telah mengenal tauhid rububiyah yaitu meng-esa-kan Allah dalam segala perbuatan-Nya. Namun pada kenyataannya penjabaran tauhid rububiyah ini lebih kepada perbuatan Allah di dunia seperti mencipta, menguasai dan mengatur seluruh alam semesta. Sedangkan perbuatan Allah lainnya jarang sekali disebutkan terutama segala perbuatan-Nya di akhirat kelak.

Oleh sebab itu, memang perlu untuk memisahkan tauhid mulkiyah ini dari tauhid rububiyah. Sebab demikianlah penggunaan kata “Rabb” (Tuhan) dan “Malik” (Raja) lebih dikhususkan dalam Al-Quran, terutama surat pertama dan terakhir. Lebih detil tentang pembagian tauhid dengan dalilnya silahkan lihat tulisan : Pengertian dan Pembagian Tauhid.

Bukti pembagian tauhid ada 4 (empat)

Bukti-bukti tentang adanya tauhid mulkiyah diantaranya :

1. QS. Al-Fatihah : 2-5

Allah berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ . مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ . إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah : 2-5)
Pada surat ini, disebutkan keempat tauhid secara lengkap yaitu tauhid rububiyah, asma wa sifat, mulkiyah dan uluhiyah.

2. QS. An-Nas : 1-3

Allah berfirman :
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ . مَلِكِ النَّاسِ . إِلَهِ النَّاسِ
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. (An-Nas : 1-3)
Pada surat ini disebutkan tiga tauhid yaitu rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah.

3. QS. Al-Ikhlas : 1-4, Al-Mukminun : 91 dan Az-Zumar : 4

Allah berfirman :
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ، اللَّهُ الصَّمَدُ ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia". (Al-Ikhlas : 1-4)
Dimana ayat :
  • “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa” adalah pengakuan tauhid uluhiyah.
  • “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu” adalah pengakuan tauhid rububiyah.
  • “Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan” adalah pengakuan tauhid asma wa sifat.
  • “Tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” adalah pengakuan tauhid mulkiyah bahwa tidak ada yang dapat mengalahkan Allah, Penguasa sesungguhnya.
Surat ini sesuai pula dengan ayat lain :
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu, (Al-Mukminun : 91)
Serta ayat :
لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا لَاصْطَفَى مِمَّا يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ سُبْحَانَهُ هُوَ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
Kalau sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya. Maha Suci Allah. Dia-lah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Az-Zumar : 4)
Dimana maksud "tidak ada yang setara dengan-Nya" adalah tidak ada yang mengalahkan-Nya, Dialah Raja (Penguasa) sebenarnya. Sesuai firman-Nya :
يَوْمَ هُمْ بَارِزُونَ لَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
(yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatu pun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman): "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Al-Mukmin : 16)

4. Bacaan dzikir

Hubungan dzikir-shalawat dengan syahadat seperti shalat sunah dengan shalat wajib, sedekah dengan zakat, puasa sunah dengan puasa wajib serta umrah dengan haji. Dzikir adalah ucapan yang diperbanyak dalam rangka menguatkan syahadat kita terutama keimanan kita terhadap tauhid asma wa sifat, rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah. Sebagaimana sabda nabi :
لأَنْ أَقُولَ : سُبْحَانَ اللهِ ؛ وَالحَمْدُ للهِ ؛ وَلاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ ، وَاللهُ أكْبَرُ ، أَحَبُّ إلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
Niscaya kalau saya mengucapkan “Subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar” (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan melainkan Allah dan Allah adalah Maha Besar), maka itu adalah lebih saya sukai daripada apa saja yang matahari terbit atasnya (dunia dan seisinya). (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Dimana ucapan :
  • “Subhanallah” (Maha Suci Allah) adalah pengakuan tauhid asma wa sifat.
  • “Alhamdulillah” (segala puji bagi Allah) adalah pengakuan tauhid rububiyah.
  • “La ilaha illallah” (tiada tuhan selain Allah) adalah pengakuan tauhid uluhiyah.
  • “Allahu akbar” (Allah Maha Besar) adalah pengakuan tauhid mulkiyah yang berarti Allah lebih pantas ditakuti dan diharapkan balasannya.
Demikian pula sabdanya :
مَنْ سَبَّحَ الله في دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاثاً وَثَلاثِينَ ، وحَمِدَ اللهَ ثَلاثاً وَثَلاَثِينَ ، وَكَبَّرَ الله ثَلاثاً وَثَلاَثِينَ ، وقال تَمَامَ المِئَةِ : لاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ وَحدَهُ لا شَريكَ لَهُ ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ
Barangsiapa yang membaca “Subhanallah” (Maha Suci Allah) setiap selesai shalat sebanyak 33 kali dan membaca “Alhamdulillah” (segala puji bagi Allah) sebanyak 33 kali dan “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar) sebanyak 33 kali dan untuk menyempurnakan keseratusnya ia membaca “La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa 'ala kulli syai’in qadir” (Tiada Tuhan melainkan Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan pujian dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu), maka diampunkan untuknya kesalahannya, sekalipun banyaknya seperti buih lautan. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Dimana ucapan :
  • “La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah” (Tiada Tuhan melainkan Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya) adalah pengakuan tauhid uluhiyah.
  • “Lahul mulku” (bagi-Nya semua kerajaan) adalah pengakuan tauhid mulkiyah.
  • “Lahul hamdu” (bagi-Nya semua pujian) adalah pengakuan tauhid rububiyah.
  • “Wa huwa 'ala kulli syai’in qadir” (dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu) adalah pengakuan tauhid asma wa sifat.
Serta hadits dari Abu Barzah Al-Aslami ia berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ بِأَخَرَةٍ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ مِنَ الْمَجْلِسِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ لَتَقُولُ قَوْلاً مَا كُنْتَ تَقُولُهُ فِيمَا مَضَى. قَالَ كَفَّارَةٌ لِمَا يَكُونُ فِى الْمَجْلِسِ
Jika Rasulullah SAW hendak bangun dari suatu majelis beliau membaca: Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika (Maha suci Engkau Ya Allah, dan segala puji bagi-Mu, aku bersaksi tiada tuhan selain Engkau, aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu). Seorang sahabat berkata: “Ya Rasulullah, engkau telah membaca bacaan yang dahulu tidak biasa engkau baca?” Beliau menjawab: “Itu sebagai penebus dosa yang terjadi dalam sebuah majelis. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)
Dimana ucapan :
  • “Subhanakallahumma” (Maha suci Engkau Ya Allah) adalah pengakuan tauhid asma wa sifat.
  • “Wabihamdika” (segala puji bagi-Mu) adalah pengakuan tauhid rububiyah.
  • “Asyhadu alla ilaha illa anta” (aku bersaksi tiada tuhan selain Engkau) adalah pengakuan tauhid uluhiyah.
  • “Astaghfiruka wa atubu ilaika” (aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu) adalah pengakuan tauhid mulkiyah.
Dari sini kini kita tahu dzikir mencakup dan menjelaskan empat macam jenis tauhid yaitu asma wa sifat, rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah.

5. Rukun Iman

Rukun iman yang enam mencakup keempat jenis tauhid, yaitu :
  • Beriman kepada Allah mencakup semua tauhid secara umum dan tauhid asma wa sifat secara khusus. Dimana tauhid asma wa sifat sebagai latar belakang tauhid lainnya.
  • Beriman kepada malaikat, kitab dan rasul adalah bagian tauhid uluhiyah.
  • Beriman kepada hari akhir adalah bagian dari tauhid mulkiyah.
  • Beriman kepada takdir Allah adalah bagian dari tauhid rububiyah.
Sering kali kita memisahkan antara beriman kepada malaikat, kitab dan rasul, padahal ini adalah satu kesatuan. Secara khusus beriman kepada malaikat ditujukan kepada Jibril, kitab kepada Al-qur'an dan rasul kepada Nabi Muhammad. Dimana maksudnya adalah berserah diri kepada apa yang Allah turunkan. Sebagaimana firman Allah :
آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (QS. Al-Baqarah 2:285)
Demikian pada surat An-Nahl 16:102 khusus untuk malaikat dan surat Al-Baqarah 2:136 khusus untuk para rasul.

6. Inti keimanan

Inti keimanan adalah seseorang ibadah kepada Allah dengan tunduk, ikhlas dan tawakal kepada-Nya. Dimana :

  • Ibadah merupakan pengagungan kepada Allah yang merupakan konsekuensi dari tauhid asma wa sifat.
  • Tunduk adalah konsekuensi dari tauhid uluhiyah dan beriman kepada malaikat, kitab dan rasul.
  • Ikhlas adalah konsekuensi dari tauhid mulkiyah dan beriman kepada hari akhir.
  • Sedangkan tawakal adalah konsekuensi dari tauhid rububiyah dan keimanan kepada takdir Allah.
Baca pula : Kedudukan Tauhid dalam Islam

7. Syarat diterimanya amal

Syarat diterima amal seseorang ada 3 (tiga) yaitu ikhlas, mutaba’ah (tunduk kepada petunjuk Allah) dan tawakal (beriman kepada takdir). Kedua syarat pertama telah kita ketahui secara umum. Adapun dalil syarat ketiga diantaranya hadits berikut :
وَلَوْ أَنْفَقْتَ جَبَلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ وَلَوْ مِتَّ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ لَدَخَلْتَ النَّارَ
Seandainya engkau menginfaqkan emas di jalan Allah sebesar Gunung Uhud, tidaklah Allah akan menerima infaq tersebut darimu sampai engkau beriman dengan takdir, dan ketahuilah bahwa apa yang (ditakdirkan) menimpamu maka tidak akan luput darimu, sedang apa yang (ditakdirkan) tidak menimpamu maka tidak akan menimpamu, kalau seandainya engkau mati dalam keadaan mengimanai selain ini (tidak beriman dengan takdir), niscaya engkau masuk neraka. (HR. Ahmad dari Ubay bin Ka’ab, Hudzaifah, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit)

8. Jenis kekafiran

Jenis kekafiran ada 3 (tiga) yaitu kafir, musyrik dan munafik.

  • Orang kafir adalah orang yang tidak mau tunduk kepada Allah dan batal tauhid uluhiyahnya.
  • Orang musyrik adalah orang yang bertawakal kepada makhluk lain selain Allah dan batal tauhid rububiyahnya.
  • Adapun orang munafik adalah orang yang tidak ikhlas hidupnya (untuk Allah dan akhirat) dan batal tauhid mulkiyahnya.

9. Makhluk yang diciptakan dengan tangan Allah

Ada 4 makhluk yang Allah ciptakan dengan tangan-Nya langsung sebagai bukti terbesar 4 macam tauhid. Sebagaimana perkataan Ibnu Umar :
خَلَقَ اللهُ أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ بِيَدِهِ : الْعَرْشَ ، وَالْقَلَمَ ، وَعَدْنٍ ، وَآدَمَ . ثُمَّ قَالَ لِسَائِرِ الْخَلْقِ : كُنْ فَكَانَ
Allah menciptakan 4 hal dengan TanganNya: Arsy, pena (penulis taqdir), surga Adn, dan Adam. Kemudian (Allah) berfirman kepada semua penciptaan (yang lain): Jadilah! Maka jadilah. (HR. Ad-Daarimi, Ibnu Jarir, Al-Baihaqi)
Dimana :
  • Arsy, bukti terbesar tauhid asma wa sifat. Dimana singgasana Allah adalah makhluk terbesar.
  • Pena, bukti terbesar tauhid rububiyah. Dimana segala sesuatu yang terjadi telah Allah ketahui dan atas kehendak-Nya.
  • Surga Adn, bukti terbesar tauhid mulkiyah. Dimana surga adalah balasan yang sangat jauh lebih baik (tidak dapat dibandingkan) dari amalan manusia.
  • Manusia, bukti terbesar tauhid uluhiyah. Dimana makhluk yang sifat aslinya bodoh, merusak dan tidak pernah melihat tuhannya, menjadi makhluk yang mengagungkan Allah seperti halnya malaikat yang berbicara dengan Allah. Karena Allah pula manusia berbuat kebaikan melawan sifat aslinya. Manusia menjadi bukti terbesar pula keagungan Allah yaitu "memberi ampunan".

10. Dosa besar yang paling besar

Ada  4 dosa besar yang paling besar, masing-masing adalah lawan dari 4 tauhid. Sebagaimana ucapan Ibnu Mas'ud :
أكبر الكبائر الإشراك بالله والأمن من مكر الله والقنوط من رحمة الله واليأس من روح الله
Dosa besar yang paling besar adalah menyekutukan Allah, merasa aman dari murka Allah, putus asa terhadap rahmat Allah, dan putus harapan terhadap kelapangan dari Allah.” (HR. Ath-Thabrani, ucapan Ibnu Abbas tanpa putus asa dari rahmat Allah)
Dimana :
  • Menyekutukan Allah, adalah lawan dari tauhid uluhiyah
  • Merasa aman dari murka Allah, adalah lawan dari tauhid mulkiyah
  • Putus asa dari rahmat Allah, adalah lawan dari tauhid asma wa sifat
  • Putus harapan terhadap kelapangan dari Allah, adalah lawan tauhid rububiyah
Wallahu ta’ala a’lam.
 
Iyas Tanjung
Bogor, 23 Ramadhan 1435 / 20 Juli 2014

04 Juli 2014

Jalan Tengah Cara Duduk Tasyahud/Tahiyat Shalat 2 Rakaat

Pertanyaan :

Bagaimanakan cara duduk tasyahud/tahiyat akhir pada shalat dua rakaat? iftirasy atau tawarruk?

Catatan :
  • Duduk iftirasy adalah duduk diatas kaki kiri, seperti duduk diantara 2 sujud.
  • Duduk tawarruk adalah duduk diatas lantai, seperti duduk tahiyat akhir shalat wajib 3 atau 4 rakaat. 

Jawaban :

Masalah ini telah lama menjadi ikhtilaf disebabkan masing-masing pendapat memiliki dalil yang kuat. Menurut saya, dalil-dalil yang berbeda tersebut masih dapat digabungkan, yaitu :
  • Duduk iftirasy dilakukan pada pertengahan shalat atau pertengahan rangkaian suatu shalat yang sama. Pada rangkaian suatu shalat yang terdapat beberapa salam, fungsi salam untuk istirahat serta mempermudah agar tidak mengulang rakaat dari awal jika batal. Oleh karena itu, duduk tasyahudnya adalah iftirasy.
  • Duduk tawarruk adalah pemisah dari 2 jenis shalat yang berbeda serta tanda dari akhir suatu shalat atau rangkaian suatu shalat. Dimana syariat memberikan tanda pada shalat yang berbeda, seperti halnya fungsi berpindah tempat ketika ingin melaksanakan shalat yang berbeda.
Intinya, secara umum duduk tasyahud akhir adalah tawarruk, termasuk pada shalat shubuh, jumat dan shalat sunah 2 rakaat lainnya. Duduk iftirasy hanya pada pertengahan rangkaian shalat malam, tarawih, dhuha atau semisalnya. Pada shalat malam atau tarawih, duduk tawaruk dilakukan hanya pada shalat witir terakhir. Sebab shalat witir termasuk rangkaian shalat malam/ tarawih.

Penjelasan :

Terdapat 2 (dua) pendapat yang sepertinya bertentangan berdasarkan dalil-dalil yang ada. Namun sebenarnya dalil-dalil ini masih bisa digabungkan seperti penjelasan diatas.
 
Pertama adalah hadits Abu humaid As-Sa'idi, yaitu :
أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ.
Aku adalah orang yang paling menghafal diantara kalian tentang shalatnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Aku melihatnya tatkala bertakbir , menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Dan jika beliau mengangkat kepalanya , maka ia berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Dan jika beliau sujud, maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya), dan menghadapkan jari-jari kakinya kearah kiblat. Dan jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy), dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk diatas tempat duduknya – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk). (HR Al-Bukhari no 828).
Dalam hadits ini dikatakan “Aku adalah orang yang paling menghafal diantara kalian” menandakan shalat yang dimaksud lebih cenderung kepada shalat rutin yang dilakukan nabi dengan para sahabatnya, yaitu shalat berjamaah. Ini menunjukkan bahwa Nabi duduk tawarruk pada rakaat terakhir suatu shalat.

Dalam lafazh yang lain disebutkan :
حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي تَكُوْنُ خَاتِمَةَ الصَّلاَةِ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْهُمَا وَأَخَّرَ رِجْلَهُ وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى رِجْلِهِ
Hingga tatkala sampai pada sujud yang merupakan penutup shalat, maka beliau mengangkat kepala beliau dari dua sujud tersebut dan mengeluarkan kaki beliau dan duduk tawarruk di atas kakinya" (HR Ibnu Hibbaan no 1870)
Dalam lafazh ini dikatakan “penutup shalat” yang artinya akhir dari suatu shalat. Dengan keumuman hadits ini termasuk pula akhir rangkaian suatu shalat. Ini menjelaskan bahwa duduk tawarruk dilakukan pada akhir (rakaat terakhir) suatu shalat atau rangkaian suatu shalat.
 
Kedua adalah hadits dari Aisyah, beliau berkata :
وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
Adalah beliau (Rasulullah) mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Muslim no 498).
Dalam hadits ini dikatakan “setiap dua raka’at” menandakan shalat sunnah yang dilakukan Nabi. Terutama saat shalat di rumahnya, karena yang meriwayatkan hadits ini adalah Aisyah istri Nabi. Ini menunjukkan Nabi duduk iftirasy dan salam tiap dua rakaat pada rangkaian suatu shalat.
Demikian pula hadits Wa’il bin Hujr, ia berkata:
أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَأَيْتُهُ يَرْفَعُ يَدَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ … وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ أَضْجَعَ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَنَصَبَ أُصْبُعَهُ لِلدُّعَاءِ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى
Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu aku melihat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya apabila membuka shalat … Dan ketika duduk pada dua raka’at, beliau menduduki kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy), meletakkan tangan kanannya pada paha kanannya dan menegakkan jemarinya untuk doa, dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya”. (HR an-Nasâ`i, 1/173 dengan sanad shahih)
Dalam hadits ini dikatakan “Aku pernah mendatangi rasulullah” menandakan shalat sunah yang dilakukan rasul, terutama dirumahnya. Hadits ini mempunyai arti yang sama dengan hadits Aisyah sebelumnya yaitu Nabi duduk iftirasy setiap dua rakaat. 

Kesimpulannya bahwa hadits-hadits diatas tidak bertentangan. Nabi duduk iftirasy dipertengahan suatu shalat atau rangkaian suatu shalat. Sedangkan beliau duduk tawarruk pada akhir (rakaat terakhir) suatu shalat atau rangkaian suatu shalat.

Rincian :

Duduk iftirasy dilakukan pada pertengahan shalat atau pertengahan rangkaian suatu shalat yang sama. Oleh karena itu, duduk iftirasy dilakukan pula pada shalat dua rakaat dengan salam jika masih dilanjutkan dengan shalat yang sama, seperti pada shalat malam atau dhuha. Contoh duduk iftirasy :
  • Duduk diantara 2 sujud.
  • Duduk tasyahud awal.
  • Duduk tasyahud makmum masbuk saat imam tasyahud akhir.
  • Duduk tasyahud akhir pada pertengahan shalat malam/tarawih (rakaat ke-2, 4, 6, 8, dst). Dimana rangkaian terakhir shalat malam/tarawih adalah shalat witir. Termasuk pula jika shalat malam/tarawih dikerjakan 4-4 rakaat.
  • Duduk tasyahud akhir pada pertengahan shalat witir (rakaat ke-2, 4, dst).
  • Duduk tasyahud akhir rakaat pertengahan shalat dhuha (rakaat ke-2, 4, 6, dst selain rakaat terakhir). Termasuk jika dikerjakan 4-4 rakaat.
Sedangkan duduk tawarruk dilakukan pada akhir shalat yang memiliki 1 salam atau rakaat terakhir rangkaian suatu shalat yang memiliki lebih dari 1 salam. Oleh karena itu, duduk tawarruk dilakukan pula pada rakaat terakhir shalat yang hanya terdiri dari 2 rakaat seperti subuh dan jumat. Contoh duduk tawarruk :
  • Duduk tasyahud akhir shalat wajib termasuk shubuh dan jumat.
  • Duduk tasyahud akhir shalat qashar atau masing-masing jamak qashar.
  • Duduk tasyahud akhir pada rakaat terakhir shalat witir (yang ganjil).
  • Duduk tasyahud akhir pada rakaat terakhir shalat dhuha.
  • Duduk tasyahud akhir shalat-shalat lainnya yang hanya 2 rakaat. 
Wallahu Ta’ala A’lam.

Iyas Tanjung
Bogor, 06 Ramadhan 1435 / 04 Juli 2014 (rev 27-07-2017)

03 Juli 2014

Posisi Duduk Makmum Masbuk Saat Imam Tasyahud Akhir

Pertanyaan :

Bagaimanakah posisi duduk jamaah yang tertinggal (masbuk) ketika imam sedang duduk tahiyat akhir (duduk tawarruk) ? 

Jawaban :

Pendapat yang paling rajih (benar) adalah makmum tersebut duduk iftirasy (duduk diantara 2 sujud atau tahiyat awal) sebab :
  1. Dalil mengikuti imam bersifat umum sedangkan dalil duduk iftirasy lebih khusus. Adapun dalil yang khusus menjelaskan dalil yang masih umum.
  2. Secara logika, makmum yang tertinggal tidak selalu tahu posisi duduk imam dan rakaat yang sedang berlangsung, kecuali posisi dan rakaat dirinya sendiri. Secara hukum, hal yang meyakinkan menghapus hal yang meragukan.

Penjelasan

Pertama, dalil mengikuti imam bersifat umum, yaitu hadits Nabi :
إِنَّمَا جُعِلَ الإِْ مَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. (HR. Al-Bukhâri dan Muslim dari Abu Hurairah)
Kita ketahui bahwa perintah ini terbatas pada gerakan imam yang sudah makruf (diketahui secara syariat). Adapun adakalanya imam tidak harus diikuti seperti :
  • Ketika imam salah dalam rukun shalat seperti seharusnya duduk tahiyat namun imam berdiri atau sebaliknya. Dalam hal ini makmum tidak mengikuti imam namun mengingatkan dengan ucapan “Subhanallah” {Maha Suci Allah (yang tak pernah lupa)}.
  • Ketika imam melakukan gerakan yang tidak biasa seperti menggaruk, menguap, batuk, bersin dan semisalnya.
  • Saat gerakan imam salah seperti posisi duduk salah, gerakan turun untuk sujud dari berdiri dengan dengkul dahulu, gerakan bangkit berdiri dari sujud tidak duduk istirahat dan tidak bertumpu pada tangan, telunjuk tidak diangkat sejak awal pada saat tahiyat dan semisalnya.
  • Termasuk gerakan yang diperselisihkan seperti imam qunut subuh, i’tidal dengan tangan di dada, tidak menggerakkan telunjuk saat tahiyat dan semisalnya.
  • Ketika imam membaca surat Al-Fatihah dan surat lain serta mengucapkan “sami’allahu liman hamidah” maka makmum tidak mengikutinya.
  • Ketika imam salam maka makmum yang tertinggal langsung berdiri bukan ikut salam terlebih dahulu.
Dari sini kita ketahui bahwa dalil mengikuti imam bersifat umum. Sedangkan dalil posisi duduk bukan tahiyat akhir adalah dengan cara duduk iftirasy bersifat lebih khusus dan spesifik. Dalil tersebut yaitu :
فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُ خْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
Dan apabila duduk pada dua rakaat, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan (kaki) kanan (iftirasy). Sedang, apabila duduk pada rakaat terakhir, beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, serta beliau duduk di atas tempat duduknya (tawarruk). (HR. Al-Bukhari dari Abu Humaid As-Sa’idi)
Kita ketahui bahwa dalil yang lebih khusus itu menjelaskan dan didahulukan dari dalil yang umum. 

Kedua, secara logika, seorang makmum yang tertinggal (masbuk) sering tidak mengetahui posisi dan rakaat imam yang sedang berlangsung. Apabila dipaksakan untuk mengikuti posisi duduk imam akan menimbulkan keraguan dan kesulitan. Sehingga shalat makmum tersebut menjadi tidak khusyuk dan matanya ke arah imam atau makmum yang lain. Padahal makmum yang lain belum tentu pula mengikuti imam.
Oleh karena itu, maka tidak perlu mengikuti dengan tepat posisi duduk imam karena hal ini akan menimbulkan keraguan. Sedangkan jika makmum duduk iftirasy maka ini lebih meyakinkan. Kaidah mengatakan keyakinan menghapus yang meragukan. Sebagaimana sabda Nabi pula :
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib)
Wallahu Ta’ala A’lam

Iyas Tanjung
Bogor, 05 Ramadhan 1435 / 03 Juli 2014